"Have you heard this story?"
Write your wish on a paper and place it in a small glass bottle,
"What are you always so diligently wishing for every day?"
Title: let me regret.
Version: 2.06
Since: 20/09/2009
your wish will come true.
Title: let me regret.
Version: 2.06
Since: 20/09/2009
your wish will come true.
Kau yang mengajarkanku tersenyum...bukan begitu?
When I was standing at the end of the world and couldn't see the path;
Kedua iris matanya memandang langit, semburat oranye matahari terbenam yang indah menghiasi. Di depannya laut mulai pasang—karena memang sudah waktunya—tapi ia tetap duduk di atas pasir putih sambil memainkan kerang yang ditemukan adiknya saat berenang tadi. Sekarang, adiknya, serta kakaknya tampaknya sedang membeli minum, atau pergi keatas untuk mandi; yah, tipikal wanita, tidak bisa kotor barang sedikit saja. Sosok pemuda itu menghela nafasnya, mungkin sedikit kesal karena kakaknya tidak memberi tahu alasan kenapa ia diharuskan berada disini, padahal pamannya sudah menjanjikannya trip di Kepulauan Jeju di Korea Selatan. Yah, sayang sekali. Padahal, dengar-dengar, gadisnya berada di sana juga. Walaupun cuma desas-desus, bukankah tak ada masalah untuk memercayainya?
“Kagami-kun.” Suara yang familiar tertangkap gendang telinganya, membuatnya spontan berbalik dan menghadapi siapa yang ada disana. Diam-diam dia berharap yang berkata adalah gadis itu, namun tampaknya hanya akan menjadi mimpi kosong yang takkan pernah terkabulkan. Sebagai gantinya ia melihat sosok yang sering kisruh dengannya, kakaknya sendiri—Hiiragi Saito. Memandangnya dengan tatapan tajam, bajunya yang tadinya terbalut baju renang kini sudah berganti dengan T-shirt, jins selutut serta coat warna pastel. “Aku ingin memberitahukanmu...rahasia.”
Kagami mengangkat satu alisnya, memandang Hiiragi dengan tatapan ‘aku-tidak-mengerti-apa-yang-kaubicarakan’. Bocah itu bangkit dan membuat tangannya membuat gerakan menyingkirkan pasir dari belakang celana jeansnya. “Kenapa?” ia memecah keheningan dengan suara bassnya, mata melekat pada sosok tubuh yang lebih pendek darinya itu.
“Tsubaru masih hidup, dan kini ia koma di rumah sakit.”
Berita itu harusnya menjadi berita bahagia—seandainya kata-kata setelah kata ‘hidup’ tidak pernah ada.
I needed someone.
When I was trapped in the darkness and couldn’t see light;
Dari dahulu kala, Kagami membenci apa yang disebut ‘rumah sakit’. Ruangannya yang putih menusuk, bau kematian yang tersebar di udara. Ia membenci saat ia harus melihat kasur berisi tubuh Ibunya yang sudah tidak bernyawa, dan ketika ia ‘menjenguk’ sang Ayah di kamar mayat. Mungkin itu bisa disebut traumatik, namun sebenarnya ia tidak takut rumah sakit, ia hanya membencinya. Membenci segala ketenangan yang ada, sorot mata khawatir di orang-orang di depannya.
Namun, ia juga membenci ekspresi lega saat para staf rumah sakit memberitahukan bahwa kerabat mereka selamat. Ia juga membenci ekspresi orang yang menangis dan yang menahan tangis ketika kabar buruk-lah yang diberitahukan oleh seorang dokter dingin yang memberitahukan kabar itu dengan datar. Ia memandang hampa lantai putih rumah sakit, Hiiragi menemani Asami lagi, menghilang entah kemana—mungkin ke arah Kantin karena mereka belum menikmati sarapan pagi.
“Maaf, anda kerabat Kohaku Ren?”
Ia mendongak. Kohaku Ren, amber love; itukah nama yang ia pasang sebagai ganti eksistensi seorang Tsubaru Saito? Tanpa terasa ia menarik sudut bibirnya dan tersenyum, hanya sedetik cepatnya dan mengangguk sedikit. Sang dokter menghela nafas, wajahnya memandang datar Kagami. Sedangkan bocah itu hanya bisa menunggu—seakan menunggu vonis pengadilan, tanpa terasa setetes keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Akankah berita baik yang ia dengar?
Atau ia harus melihat orang yang ia sayangi meninggalkannya lagi?
“Maaf...”
...mendengar kata itu, tampaknya ia sudah mengetahui jawabannya. Tuhan, kenapa kau mengambil orang yang ia sayangi—kembali?
I was waiting for the helping hand.
You wouldn’t know you’re the only one in the world.
Katakanlah, (lagi-lagi) masalah.
“...because I will not always get what I want, especially you. Sounds silly because I want you.” Kenapa? Kenapa gadis itu tak bisa mendapatkannya? Apakah ia tidak terlalu pantas untuk gadis berambut cokelat kemerahan tersebut? Apa ia ternoda dengan titel nama ‘Saito’ yang mengingatkan orang dengan Yasushige Saito, kakek-kakek gila yang melempar vas bunga kepada orang yang mencuri buah kesemek di pohonnya? Ataukah karena Ibu yang hamil dengan seorang pejabat di Russia dan setelah melahirkan ‘Itsuki Naruki’, kabur—tanpa cerai—bersama Ayahnya yang malah ditembak sniper yang disewa oleh pria Russia itu? Sejarah keluarganya memang memusingkan—
“We’re break up, that’s what you mean?” suara bassnya berubah menjadi serak, tapi ia menyembunyikan perasaan ingin menangisnya—bukankah itu membuatnya semakin buruk, semakin tidak pantas bersanding dengan gadisnya, walau langit dan bumi dengan ajaibnya terbalik? Suaranya bergetar dan serak, itu tidak bisa disembunyikannya. Namun ia harus berpura-pura kuat, menahan air mata yang sudah akan menitik di kedua iris cokelatnya; dan tidak pernah ada yang tahu bahwa...
...ia rapuh.
“I really don’t want this happen between us.” Kedua mata gadisnya basah, berlinang air mata—namun tampaknya ia tidak mampu, ia sudah terluka. Tak mampu menahan mulutnya agar tidak membuat gadisnya lebih terluka daripada itu.
Berbalik, “I don’t want it too.” Dan meninggalkan gadisnya, begitu saja. Bijaksana?
When you found out that I run away,
were you disappointed?
I had courage to come back because you were there.
Ia tidak bijaksana, ia tahu itu.
Mengelus pipi kirinya yang merah, yang baru saja menjadi sasaran tampar dari sepupunya yang sepantaran dengannya, Kanon Wakana yang kemudian langsung pergi—ditarik oleh Hiiragi ke taman kota sementara Kagami berada sendirian di rumah. Terseok-seok menuju kamar, ia melihat telepon genggamnya tergeletak di atas televisi yang tidak hidup. Melihat pesan yang masuk di sana, matanya melebar. Akh. Haruskah ia kehilangan orang lagi? Bukankah sudah cukup ia ditinggalkan. Tidak cukupkah Tuhan mengambil Tsubaru—tidak cukupkah Tuhan merampas Raiza dari sisinya; atau ia yang membiarkan Kami menggariskan takdir bahwa Raiza yang menghilang dari sisinya, walau ia mampu mengubahnya?
Mengedip—dan dia segera berlari ke halte bus di tempat terdekat, dengan buru-buru, meninggalkan sesuatu yang tak biasanya ia tinggalkan dalam hidupnya.
Segenggam lolipop tergeletak di meja, tertinggal.
You’ll make me fly and smile again, right?
Oh lonely night, it’s and endless and stuffy night;
Mendengar orang yang sedarah dengan gadisnya—kembarannya tepatnya—meninggal dunia, ia hanya bisa berfikir, bahwa bukan ia saja yang sedang tertimpa musibah belakangan ini. Harusnya ia perduli, ‘kan? Masih banyak orang yang bernasib lebih buruk daripadanya, namun kenapa dia selalu bersikap egois layaknya ia satu-satunya yang bernasib sial di dunia ini? Seperti yang ia katakan dari awalnya—ia memang berego tinggi, egois.
Harusnya ia berada di samping gadisnya, mendekapnya erat sementara gadis itu menangis di pundaknya. Tidak semua orang mempunyai kesabaran dan ketabahan darinya yang hanya terdiam melihat mayat Tsubaru di kremasi, terbakar di api merah lalu keesokan harinya, ia berdebat dengan gadisnya, Raiza Sakata, yang akhirnya malah berujung pertengkaran. Lalu sekarang—Reiji meninggal bukan? Rasanya banyak sekali orang yang meninggal di bulan ini, ia membatin.
Tapi bukan melakukan apa yang dicantumkan pada kalimat pertama paragraf diatas, ia malah duduk di atas kasurnya, termenung dengan mata yang sembab; lagi-lagi mengingat Raicchan—Raiza— membuatnya menangis kembali. Sungguh diluar imejnya yang tegar. Tapi ia tersenyum sarkatis pada dirinya sendiri, sementara ia menyeka air mata yang berjatuhan. Bukankah ia harus tegar? Bukankah ia harus mendongakkan wajah dan menatap dunia dengan berani?
Ia. Tidak. Bisa.
Those are day when I cried alone during the dark nights.
The person who always guiding me is you—
Pada malam kemarin ia merenung, dan pada pagi ini dia membulatkan tekad. Mencari sosok yang bukan miliknya lagi, yang pastinya sedang berfikiran kosong, atau ingin membunuh dirinya sendiri untuk bertemu dengan niichannya yang tersayang lagi. Ia berlari ke sana kemari mencari tuan putrinya, ia bersandang ke ‘kastil’ gadisnya, si tuan putri yang berambut cokelat kemerahan. Iris matanya menangkap kertas yang tergeletak di atas meja, dan ketika memegangnya dengan gemetar, ia membacanya.
Kertas itu jatuh ke lantai sementara Kagami Saito berlari ke jembatan Tamagawa—satu-satunya tempat yang bisa menyebabkan kematian bagi orang yang melompat ke bawahnya.
...you, you, you—
Pupilnya melebar ketika ia melihat sosok itu, gadisnya, Raizanya, Raizanya yang tersayang, yang walau sudah meninggalkan luka yang dalam di hatinya tetap menjadi satu-satunya gadis yang ia minta berada di sisinya. Jantungnya berdetak kencang, melihat sosok yang sudah memanjat pilar jembatan itu, sementara paru-parunya sudah sesak karena ia terlalu lama berlari. Ia memang tidak bisa berolahraga, ia tahu. Ia jarang lari, bahkan ketika guru olahraganya menugaskannya untuk melakukannya. Ia malas; ia tidak punya keinginan dan niat. Salahkah?
...tapi demi miliknya, ia ingin berlari.
“RAICCHAN!”
Mencoba berteriak sekencang-kencangnya; akankah kekhawatirannya tersampaikan dengan satu panggilan itu? Sudah jarang ia memanggilnya dengan panggilan itu, karena banyak masalah ia jadi memanggilnya dengan embel-embel ‘-san’, seperti saat mereka pertama bertemu. Larinya semakin cepat, mencoba mencegah sosok itu dari jatuhnya. Tidak, tidak—Raizanya tidak boleh menyusul Reiji, karena ia masih ingin miliknya satu-satunya ada di dunia ini. Itu memang egois, itu memang egois. Walau ia sudah digariskan untuk bersama-samanya, ia tetap ingin berada disininya. Ia hampir mendapatkan Raizanya—
—seperti sekarang, ia hampir berhasil mencegah sosok itu jatuh.
Tapi terlambat.
The only reason of living is you.
Tapi kenapa Kami ikut mengambilmu dari sisiku, kenapa? Kata-kata itu bergema dikepalanya, terngiang begitu saja. Ia merutuk langit yang menampiaskan air matanya yang kini berjatuhan, membasahi badannya dan membuat kemeja putih tipisnya basah. Tanpa ekspresi, ia memandang pilar jembatan yang sebenarnya dihalangi oleh garis kuning berlabel police line – do not cross yang harusnya ia patuhi. Tapi ia tidak menggubrisnya, membiarkan air matanya bersatu dengan hujan.
Membiarkan dirinya melompat, menyusul putrinya yang sudah berada disana. Akankah ia menemuinya? Angin berdesir menemani kejatuhannya, menimbulkan suara yang memenuhi telinganya. Kami, pertemukan ia dengan orang yang ia sayangi—termasuk alasannya untuk mati, alasannya untuk hidup. Itulah Raiza, alasannya untuk eksis di dunia ini.
Within my desert you are my oasis—
...tubuhnya jatuh, jatuh, jatuh...
—the sweetest chocolate.
“Saranghaeyo, Raiza Sakata.”
You’ll make me fly and smile again, right?
A / N: Finally, another story! *sigh* LOL. Saya dedikasikan kepada Bunda Dhilla dan Kakak Tyas –halah- yang selalu memberikan ‘suport’ berupa rekomendasi vid-vid B2ST yang membuat saya semangat XDD
Disclaimer: Lyrics and Title © Beast; Alur Cerita © Dhilla, dan Percakapan Raiza-Kagami © (RC?) plurk geje yang waktu itu. Saitos dan Wakana milik saya, dan Sakatas milik Dhilla. Nuff’ say. *shot*
Label: b2st, fanfic, kagami/raiza, oneshot, rpf:ryokubita, yet
Musim panas yang lalu, aku masih bersamamu ya? Sekarang—aku bersamamu. Namun dalam wujud yang berbeda. Aku menyayangkan itu. Masih adakah kesempatan untuk kembali padamu dengan wujud yang dulu? Entah. Rasanya berat untuk menjadi Kagami Saito yang ceria, yang selalu tersenyum kaku, yang selalu ribut dengan Hiiragi, yang selalu tidak perduli pada dunia. Namun ketika menerima surat soal Ryokushoku o Obita, sekolah yang mirip dengan Nobita-nya Doraemon itu, aku sudah berubah. Rasanya aku tak mempercayai aku adalah seorang penyihir—apa lagi mengingat appa itu bukan orang yang mempercayai takhayul. Omong-omong, appa itu bahasa Korea lho. Artinya sama dengan ‘tou-san’. Lucu ‘kan? Seperti ‘papa’ dalam bahasa Barat? Oke, mungkin...karena ini nyata, bukan takhayul, itulah yang akan terjadi, appa pasti tahu ini nyata, bukan hanya sebuah cerita dongeng. Oh well, aku kira itu takhayul saat mulanya seorang Sadako datang kerumahku membawa buntalan hijau berisi surat ini, namun ternyata itu fakta (bukan hanya sekedar hal fiktif yang dikarang) karena para ‘sepupu-sepupu’-ku juga mendapat surat itu. Well, itu sepertinya keturunan dari Kakek—
—tunggu. Aku baru ingat kalau ‘Kakek’ juga bukan ‘Kakek’. Aku belum cerita padamu, ‘kan? Bahwa appa adalah seorang anak angkat. Kakekku yang sekarang (bisa dibilang) adalah kakek angkatku juga sih, karena aku lupa cara menjelaskannya. Sudahlah. Toh dia memang tidak penting karena aku sudah tidak berhubungan dengannya lagi. Entah dia meninggal, atau dia menghilang. Atau dia masih hidup? Entah, Hiiragi hanya mau menyinggung para Kanon-Souji-Itsumi-Haku saja, enggan menyebut-nyebut anggota keluarga lain. Sedangkan soal Tante Yoru dan Om Yoru, aku kadang-kadang di beri mereka uang jajan sih. Hehe.
Aduh. Aku ini ngomong apa sih. (spazzing. ckckck)
Raiza, aku itu terkejut lho, saat kau—
***
“Oppa nulis apa sih?”
“Jangan lihat.”
Kagami memandang Asami yang sekarang menggembungkan pipinya, jelas sekali bahwa ia penasaran apa isi dibalik jurnal berwarna biru tua itu. Hasil obralan salah satu toko buku, dan kertasnya organik. Hanya seribu yen walau tinggal satu-satunya; ternyata pemiliknya berniat menghabiskan barang dagangannya itu. Jadi, Kagami berharap dia bisa membuat jurnal bergantian bersama Raiza, namun tampaknya itu hanya kenangan saja. Mungkin dia bisa memberi nama jurnal itu ‘Raiza’? Tidak, rasanya tidak afdol.
***
—saat kau bilang kau suka dengan Winterfield. Aku terkejut lho. Kukira kau hanya bercanda. Well, kau boleh saja pacaran dengannya, namun suatu hari nanti aku akan merebutmu kembali. Aku yakin aku bisa, karena aku tahu di lubuk hatimu masih ada namaku, senyumku, wajahku. You can keep pretending you don’t love me, but you know you love me. And you know I love you.
—Kagami Saito, In Home :D
***
Di tengah kestressan. Kagami-Asami-Wakanas milikku, Raiza milik Dhilla, Ryokubita milik nDhez. [s]fic geje banget[/s]
Label: fanfic, kagami/raiza, oneshot, rpf:ryokubita
Tuhan, kau mau mengampuni dosaku, ‘kan?
Kagami Saito punya dua orang kakak dan seorang adik.
“Oppa, jangan...menyalahkan diri sendiri.”
Saat itu ia hanya bisa terdiam, memandang Asami dengan pandangan kosong dan hampa. Namun emosi yang terlukis di hatinya hanyalah kefrustasian, namun yang ada di wajahnya hanyalah sebuah kekosongan yang tak terbaca. Ia bisa merasakan bahwa Asami yang memandangnya dengan khawatir, mungkin menyesal bahwa telah memberitahunya kenyataan yang akan membayang-bayangi hidupnya selama ini. Tampaknya dulu saking shocknya ia sampai lupa ingatan, namun mengingat orang itu meninggal bukan karena salahnya, tapi karena kecelakaan. Namun, dia akhirnya melupakannya, menenggelamkan diri kepada kehidupannya sendiri.
“Aku tidak apa-apa, Asami.”
Namun itu sama sekali tidak membuat keadaan lebih baik; tidak menutupi bahwa matanya sudah berkaca-kaca, suaranya goyah, sekujur tubuhnya gemetar. Ia meremas tangannya keras-keras sebagai tumpuan, namun sebenarnya semua dinding pertahanannya sudah hancur, ia sudah hancur. Tapi agar Asami yakin ia melempar senyuman, sebuah senyuman kaku, sebuah senyuman Kagami yang dulu—senyuman dimana itu sebatas penanda formal saja. Senyuman yang seolah mengatakan; ia ingin sendiri, menangisi sesuatu yang sudah hilang. Menangisi...
...Tsubaru.
Namun, sebagai adik yang sudah hidup dengan Kagami bertahun-tahun lamanya, sudah mengerti sifat Kagami, dan sudah merasakan pahitnya hidup, Asami mengerti dan bangkit dari duduknya. Tak sampai sepuluh detik setelah Asami meninggalkan kamarnya, setetes air mata, dua tetes air mata, mengalir deras. Mulutnya melontarkan bisikan-bisikan, yang berbunyi sama, sebuah kata ‘maaf’ yang diucapkan berulang-ulang, seperti sebuah mantra. Kenapa dia selalu bernasib buruk? Entahlah, mungkin sudah takdirnya untuk hancur. Untuk menjadi orang yang tak mempunyai setitikpun cinta, menjadi orang yang tidak mempercayai cinta; karena menjadi orang yang selalu dikecewakan.
Tapi dia tetap menginginkan Raiza dan Tsubaru disisinya.
Itu egois, ia tahu.
I was always being selfish.
***
Pada suatu hari yang mendung, gelap berawan.
Kohaku mendapat suatu telepon dari nomor tersembunyi yang sama sekali tak ia kenal, alisnya mengernyit, tanda tak mengerti. Walaupun dia adalah orang yang terkenal di dunianya, dia tak pernah memberi orang lain nomor dari telepon genggam pribadinya tersebut. Biasanya mereka menghubunginya lewat teleponnya yang komersil. Guntur menggelegar di kejauhan, maka Kohaku meringis dan mengangkatnya dengan enggan. Ia takut tersambar petir, namun, sepertinya ini benar-benar darurat...sepertinya.
“Tsubaru-nii.”
Satu kata pertama mengejutkannya. Dia tidak mempunyai satupun keluarga, mereka sudah ia buang, Kohaku tak anggap mereka sebagai ‘keluarga’ karena mereka tak perduli padanya. Dan tak ada satupun orang yang mengenal nama aslinya, tahu bahwa ia bukan ‘Kohaku Ren’, bahkan bossnya sekalipun. Tak ada. Namun kenapa orang ini—yang suaranya terdengar familiar—itu mengenali namanya yang dulu; identitas yang sudah ia kubur jauh-jauh, yang sudah ia buang dari dunianya? Entah, dia merasa seperti menjadi orang yang akan diancam dibongkar eksistensinya—padahal sudah sulit menyembunyikannya.
“Tsubaru-nii, ini aku; Kagami.”
Itu kata yang simpel, bukan? Namun baginya, itu adalah hal yang paling mengejutkannya. Kagami. Ah. Ya. Tentu. Bocah yang merupakan adiknya, adiknya yang paling ia sayang, paling ia manja. Namun tentu harusnya bocah itu tak mengetahui nomornya, mungkin dengan koneksi Hiiragi—ah ya, ia lupa lagi dengan adiknya yang satu itu, satu-satunya orang yang (mungkin) masih bisa ia anggap sebagai keluarga karena membantunya membangun ketidakadaan seorang Tsubaru Saito di dunia ini. Ah ya—Hiiragi itu brengsek karena memberitahukan nomornya ke Kagami.
“Kau tahu nomor ini dari Hiiragi?”
“Ya.”
“Brengsek,” Tsubaru (atau Kohaku—panggil saja Tsubaru, susah sekali) mengumpat. Dia menutup gorden jendela, berharap tak ada yang menguping pembicaraannya yang sangat personal ini. Dunianya penuh pengintaian, begitulah...dia langsung mengunci pintu rapat-rapat, berharap tak ada yang pergi ke rumahnya hari ini. Hanya bisa berharap. Lalu ia melanjutkan dengan ketus, “untuk apa kau menelpon, eh, Kagami?”
“Kau saudaraku, apakah salah jika aku menelponmu?”
“Kita kembali kepada inti yang membosankan,” kritiknya, tangannya yang bebas bergerak untuk membetulkan kacamatanya. Dia merebahkan diri ke atas tempat tidurnya yang empuk, hasil obralan, memandang dinding berwarna broken-white, semua hasil penghasilannya—hasil dari pekerjaannya, “kau tidak mengerti? Tsubaru Saito itu sudah meninggal, sudah mati, sudah dibuang. Kenapa kau masih menelponku? Aku sekarang Kohaku Ren.”
“Kau tetap brengsek, hyung. Aku menelponmu hanya untuk meminta maaf,” suara di seberang menjawab, ia bisa mendengar hujan deras berbunyi menerjang tanah, guntur menggelegar di belakang suara Kagami. Tiba-tiba ia memikirkan sesuatu, bahwa ia memang terlalu ketus kepada Kagami. Dia terdiam mendengar suara bergetar itu. “Maaf...aku sudah menghancurkan hidupmu, membuatmu hidup tanpa keluarga—MAAF. Aku...”
“Hei, tunggu Kagami. Kau ada dimana?”
“Saranghaeyo, hyung.”
Tuuuuutt—
Tidak bisakah kau mengerti, Tsubaru?
Kau seorang pecundang yang juga egois.
***
“Hei, tunggu Kagami. Kau ada dimana?”
Ia tersenyum, menikmati air hujan yang mengalir deras, membasahi tubuhnya, mengalir di kepalanya, “Saranghaeyo, hyung,” jarinya bergerak lincah menekan tombol bergambar telepon merah, lalu suara ‘tuuuut’ yang menandakan bahwa telepon sudah diputus. Orang-orang di sekitarnya memandangnya dengan aneh, lalu mereka pergi tanpa perduli kepadanya, tanpa memerdulikannya. Namun ia tetap mengacuhkannya, tetap memandang jalan penuh mobil di depannya dengan acuh tak acuh. Dia berada di sebuah jembatan, dan dia ingin melompat. Tapi instingnya menolak.
Bodoh. Untuk mati saja—kau takut.
***
Ketika kau menerima berita buruk, apa yang kau lakukan, ya, Raicchan, hyung? Berita tentangku yang mengejutkan, bahwa aku memotong nadiku sendiri? Kalian pasti tidak perduli, ‘kan? Karena kalian tidak mencintaiku lagi, tidak perduli padaku lagi. Aku merasa tak berharga tanpa kalian—I’m a sinner. Aku tak bisa melakukan apapun tanpa kalian.
Tsubaru, berbahagialah dengan identitas barumu, ya.
Asami, Hiiragi, kalian tak akan terganggu lagi oleh ocehan-ocehanku, jadi bersyukurlah.
Raiza...berbahagialah dengan Winterfield, maukah kau? Jangan memikirkanku lagi...oke?
***
“Kagami.”
Ia mengarahkan matanya kepada ambang pintu rumah sakit, yang berdinding putih menyakitkan mata, dan melihat sosok yang tadinya sangat tidak ia kenali, memakai kacamata. Namun ketika kacamata itu dilepasnya, ia mengenalinya, tersenyum. “Hyung,” ia tersenyum, menerima bunga yang di berikan Tsubaru dengan pelan. Bunga...kamboja. “Kau bercanda ya? Mengirim bunga orang mati seperti ini,” sindir Kagami dengan suara sinis, dan Tsubaru tertawa kecil sebagai jawabannya.
“Ayolah, masih untung kau kujenguk. Kau nekat sekali sih,” Tsubaru berkata, dan menyadari bahwa dia tidak berada sendiri dengan Kagami saja, melihat seorang gadis cantik yang berada di samping Kagami, bermata sembab, kelihatannya habis menangis, dan di sebelah gadis itu terduduk adiknya, menyender di bahu gadis itu, Asami tertidur lelap. “Dan—siapa ini, eh? Pacarmu?”
“AH YA, aku lupa—Tsubaru, ini Raiza, Raiza, ini Tsubaru,” Kagami berkata riang, tapi batuk sesudahnya, membuat Raiza mengkritik bahwa dia tidak memaksakan diri—untuk kali ini. Tsubaru memasang seringai, dan Kagami memulai lagi, “Apa alasanmu mengirim bunga kamboja?”
“Aku tahu,” Tsubaru berkata dengan mata cemerlang dan cengirannya yang Kagami rindukan, “Kagami yang dulu sudah tidak ada lagi—dan kurasa aku tahu sebabnya, pasti karena Raiza. Kansahamnida, Raiza-san. Dan kalian serasi, pasti langgeng. Ia sedikit terlalu cantik untukmu sih.”
“APA MAKSUD—UHUK!”
“Hei, Kagami kun, jangan memaksakan diri dong!”
Tsubaru tersenyum.
Tampaknya memang, Kagami yang dulu itu sudah ‘menghilang’ dari dunia ini.
***
Terima kasih karena sudah repot-repot membaca fic abal ini, yang diselesaikan dalam satu jam setengah, sangat abal, sangat ooc, sangat melankonlis. Raiza Sakata adalah properti milik Dhilla, dan Ryokubita adalah milik nDhez dan kawan-kawan. First RPF based fanfic, by the way. :D
Label: fanfic, kagami/raiza, rpf:ryokubita