"Have you heard this story?"
Write your wish on a paper and place it in a small glass bottle,
"What are you always so diligently wishing for every day?"
Title: let me regret.
Version: 2.06
Since: 20/09/2009
your wish will come true.
Title: let me regret.
Version: 2.06
Since: 20/09/2009
your wish will come true.
Musim panas yang lalu, aku masih bersamamu ya? Sekarang—aku bersamamu. Namun dalam wujud yang berbeda. Aku menyayangkan itu. Masih adakah kesempatan untuk kembali padamu dengan wujud yang dulu? Entah. Rasanya berat untuk menjadi Kagami Saito yang ceria, yang selalu tersenyum kaku, yang selalu ribut dengan Hiiragi, yang selalu tidak perduli pada dunia. Namun ketika menerima surat soal Ryokushoku o Obita, sekolah yang mirip dengan Nobita-nya Doraemon itu, aku sudah berubah. Rasanya aku tak mempercayai aku adalah seorang penyihir—apa lagi mengingat appa itu bukan orang yang mempercayai takhayul. Omong-omong, appa itu bahasa Korea lho. Artinya sama dengan ‘tou-san’. Lucu ‘kan? Seperti ‘papa’ dalam bahasa Barat? Oke, mungkin...karena ini nyata, bukan takhayul, itulah yang akan terjadi, appa pasti tahu ini nyata, bukan hanya sebuah cerita dongeng. Oh well, aku kira itu takhayul saat mulanya seorang Sadako datang kerumahku membawa buntalan hijau berisi surat ini, namun ternyata itu fakta (bukan hanya sekedar hal fiktif yang dikarang) karena para ‘sepupu-sepupu’-ku juga mendapat surat itu. Well, itu sepertinya keturunan dari Kakek—
—tunggu. Aku baru ingat kalau ‘Kakek’ juga bukan ‘Kakek’. Aku belum cerita padamu, ‘kan? Bahwa appa adalah seorang anak angkat. Kakekku yang sekarang (bisa dibilang) adalah kakek angkatku juga sih, karena aku lupa cara menjelaskannya. Sudahlah. Toh dia memang tidak penting karena aku sudah tidak berhubungan dengannya lagi. Entah dia meninggal, atau dia menghilang. Atau dia masih hidup? Entah, Hiiragi hanya mau menyinggung para Kanon-Souji-Itsumi-Haku saja, enggan menyebut-nyebut anggota keluarga lain. Sedangkan soal Tante Yoru dan Om Yoru, aku kadang-kadang di beri mereka uang jajan sih. Hehe.
Aduh. Aku ini ngomong apa sih. (spazzing. ckckck)
Raiza, aku itu terkejut lho, saat kau—
***
“Oppa nulis apa sih?”
“Jangan lihat.”
Kagami memandang Asami yang sekarang menggembungkan pipinya, jelas sekali bahwa ia penasaran apa isi dibalik jurnal berwarna biru tua itu. Hasil obralan salah satu toko buku, dan kertasnya organik. Hanya seribu yen walau tinggal satu-satunya; ternyata pemiliknya berniat menghabiskan barang dagangannya itu. Jadi, Kagami berharap dia bisa membuat jurnal bergantian bersama Raiza, namun tampaknya itu hanya kenangan saja. Mungkin dia bisa memberi nama jurnal itu ‘Raiza’? Tidak, rasanya tidak afdol.
***
—saat kau bilang kau suka dengan Winterfield. Aku terkejut lho. Kukira kau hanya bercanda. Well, kau boleh saja pacaran dengannya, namun suatu hari nanti aku akan merebutmu kembali. Aku yakin aku bisa, karena aku tahu di lubuk hatimu masih ada namaku, senyumku, wajahku. You can keep pretending you don’t love me, but you know you love me. And you know I love you.
—Kagami Saito, In Home :D
***
Di tengah kestressan. Kagami-Asami-Wakanas milikku, Raiza milik Dhilla, Ryokubita milik nDhez. [s]fic geje banget[/s]
Label: fanfic, kagami/raiza, oneshot, rpf:ryokubita
Tuhan, kau mau mengampuni dosaku, ‘kan?
Kagami Saito punya dua orang kakak dan seorang adik.
“Oppa, jangan...menyalahkan diri sendiri.”
Saat itu ia hanya bisa terdiam, memandang Asami dengan pandangan kosong dan hampa. Namun emosi yang terlukis di hatinya hanyalah kefrustasian, namun yang ada di wajahnya hanyalah sebuah kekosongan yang tak terbaca. Ia bisa merasakan bahwa Asami yang memandangnya dengan khawatir, mungkin menyesal bahwa telah memberitahunya kenyataan yang akan membayang-bayangi hidupnya selama ini. Tampaknya dulu saking shocknya ia sampai lupa ingatan, namun mengingat orang itu meninggal bukan karena salahnya, tapi karena kecelakaan. Namun, dia akhirnya melupakannya, menenggelamkan diri kepada kehidupannya sendiri.
“Aku tidak apa-apa, Asami.”
Namun itu sama sekali tidak membuat keadaan lebih baik; tidak menutupi bahwa matanya sudah berkaca-kaca, suaranya goyah, sekujur tubuhnya gemetar. Ia meremas tangannya keras-keras sebagai tumpuan, namun sebenarnya semua dinding pertahanannya sudah hancur, ia sudah hancur. Tapi agar Asami yakin ia melempar senyuman, sebuah senyuman kaku, sebuah senyuman Kagami yang dulu—senyuman dimana itu sebatas penanda formal saja. Senyuman yang seolah mengatakan; ia ingin sendiri, menangisi sesuatu yang sudah hilang. Menangisi...
...Tsubaru.
Namun, sebagai adik yang sudah hidup dengan Kagami bertahun-tahun lamanya, sudah mengerti sifat Kagami, dan sudah merasakan pahitnya hidup, Asami mengerti dan bangkit dari duduknya. Tak sampai sepuluh detik setelah Asami meninggalkan kamarnya, setetes air mata, dua tetes air mata, mengalir deras. Mulutnya melontarkan bisikan-bisikan, yang berbunyi sama, sebuah kata ‘maaf’ yang diucapkan berulang-ulang, seperti sebuah mantra. Kenapa dia selalu bernasib buruk? Entahlah, mungkin sudah takdirnya untuk hancur. Untuk menjadi orang yang tak mempunyai setitikpun cinta, menjadi orang yang tidak mempercayai cinta; karena menjadi orang yang selalu dikecewakan.
Tapi dia tetap menginginkan Raiza dan Tsubaru disisinya.
Itu egois, ia tahu.
I was always being selfish.
***
Pada suatu hari yang mendung, gelap berawan.
Kohaku mendapat suatu telepon dari nomor tersembunyi yang sama sekali tak ia kenal, alisnya mengernyit, tanda tak mengerti. Walaupun dia adalah orang yang terkenal di dunianya, dia tak pernah memberi orang lain nomor dari telepon genggam pribadinya tersebut. Biasanya mereka menghubunginya lewat teleponnya yang komersil. Guntur menggelegar di kejauhan, maka Kohaku meringis dan mengangkatnya dengan enggan. Ia takut tersambar petir, namun, sepertinya ini benar-benar darurat...sepertinya.
“Tsubaru-nii.”
Satu kata pertama mengejutkannya. Dia tidak mempunyai satupun keluarga, mereka sudah ia buang, Kohaku tak anggap mereka sebagai ‘keluarga’ karena mereka tak perduli padanya. Dan tak ada satupun orang yang mengenal nama aslinya, tahu bahwa ia bukan ‘Kohaku Ren’, bahkan bossnya sekalipun. Tak ada. Namun kenapa orang ini—yang suaranya terdengar familiar—itu mengenali namanya yang dulu; identitas yang sudah ia kubur jauh-jauh, yang sudah ia buang dari dunianya? Entah, dia merasa seperti menjadi orang yang akan diancam dibongkar eksistensinya—padahal sudah sulit menyembunyikannya.
“Tsubaru-nii, ini aku; Kagami.”
Itu kata yang simpel, bukan? Namun baginya, itu adalah hal yang paling mengejutkannya. Kagami. Ah. Ya. Tentu. Bocah yang merupakan adiknya, adiknya yang paling ia sayang, paling ia manja. Namun tentu harusnya bocah itu tak mengetahui nomornya, mungkin dengan koneksi Hiiragi—ah ya, ia lupa lagi dengan adiknya yang satu itu, satu-satunya orang yang (mungkin) masih bisa ia anggap sebagai keluarga karena membantunya membangun ketidakadaan seorang Tsubaru Saito di dunia ini. Ah ya—Hiiragi itu brengsek karena memberitahukan nomornya ke Kagami.
“Kau tahu nomor ini dari Hiiragi?”
“Ya.”
“Brengsek,” Tsubaru (atau Kohaku—panggil saja Tsubaru, susah sekali) mengumpat. Dia menutup gorden jendela, berharap tak ada yang menguping pembicaraannya yang sangat personal ini. Dunianya penuh pengintaian, begitulah...dia langsung mengunci pintu rapat-rapat, berharap tak ada yang pergi ke rumahnya hari ini. Hanya bisa berharap. Lalu ia melanjutkan dengan ketus, “untuk apa kau menelpon, eh, Kagami?”
“Kau saudaraku, apakah salah jika aku menelponmu?”
“Kita kembali kepada inti yang membosankan,” kritiknya, tangannya yang bebas bergerak untuk membetulkan kacamatanya. Dia merebahkan diri ke atas tempat tidurnya yang empuk, hasil obralan, memandang dinding berwarna broken-white, semua hasil penghasilannya—hasil dari pekerjaannya, “kau tidak mengerti? Tsubaru Saito itu sudah meninggal, sudah mati, sudah dibuang. Kenapa kau masih menelponku? Aku sekarang Kohaku Ren.”
“Kau tetap brengsek, hyung. Aku menelponmu hanya untuk meminta maaf,” suara di seberang menjawab, ia bisa mendengar hujan deras berbunyi menerjang tanah, guntur menggelegar di belakang suara Kagami. Tiba-tiba ia memikirkan sesuatu, bahwa ia memang terlalu ketus kepada Kagami. Dia terdiam mendengar suara bergetar itu. “Maaf...aku sudah menghancurkan hidupmu, membuatmu hidup tanpa keluarga—MAAF. Aku...”
“Hei, tunggu Kagami. Kau ada dimana?”
“Saranghaeyo, hyung.”
Tuuuuutt—
Tidak bisakah kau mengerti, Tsubaru?
Kau seorang pecundang yang juga egois.
***
“Hei, tunggu Kagami. Kau ada dimana?”
Ia tersenyum, menikmati air hujan yang mengalir deras, membasahi tubuhnya, mengalir di kepalanya, “Saranghaeyo, hyung,” jarinya bergerak lincah menekan tombol bergambar telepon merah, lalu suara ‘tuuuut’ yang menandakan bahwa telepon sudah diputus. Orang-orang di sekitarnya memandangnya dengan aneh, lalu mereka pergi tanpa perduli kepadanya, tanpa memerdulikannya. Namun ia tetap mengacuhkannya, tetap memandang jalan penuh mobil di depannya dengan acuh tak acuh. Dia berada di sebuah jembatan, dan dia ingin melompat. Tapi instingnya menolak.
Bodoh. Untuk mati saja—kau takut.
***
Ketika kau menerima berita buruk, apa yang kau lakukan, ya, Raicchan, hyung? Berita tentangku yang mengejutkan, bahwa aku memotong nadiku sendiri? Kalian pasti tidak perduli, ‘kan? Karena kalian tidak mencintaiku lagi, tidak perduli padaku lagi. Aku merasa tak berharga tanpa kalian—I’m a sinner. Aku tak bisa melakukan apapun tanpa kalian.
Tsubaru, berbahagialah dengan identitas barumu, ya.
Asami, Hiiragi, kalian tak akan terganggu lagi oleh ocehan-ocehanku, jadi bersyukurlah.
Raiza...berbahagialah dengan Winterfield, maukah kau? Jangan memikirkanku lagi...oke?
***
“Kagami.”
Ia mengarahkan matanya kepada ambang pintu rumah sakit, yang berdinding putih menyakitkan mata, dan melihat sosok yang tadinya sangat tidak ia kenali, memakai kacamata. Namun ketika kacamata itu dilepasnya, ia mengenalinya, tersenyum. “Hyung,” ia tersenyum, menerima bunga yang di berikan Tsubaru dengan pelan. Bunga...kamboja. “Kau bercanda ya? Mengirim bunga orang mati seperti ini,” sindir Kagami dengan suara sinis, dan Tsubaru tertawa kecil sebagai jawabannya.
“Ayolah, masih untung kau kujenguk. Kau nekat sekali sih,” Tsubaru berkata, dan menyadari bahwa dia tidak berada sendiri dengan Kagami saja, melihat seorang gadis cantik yang berada di samping Kagami, bermata sembab, kelihatannya habis menangis, dan di sebelah gadis itu terduduk adiknya, menyender di bahu gadis itu, Asami tertidur lelap. “Dan—siapa ini, eh? Pacarmu?”
“AH YA, aku lupa—Tsubaru, ini Raiza, Raiza, ini Tsubaru,” Kagami berkata riang, tapi batuk sesudahnya, membuat Raiza mengkritik bahwa dia tidak memaksakan diri—untuk kali ini. Tsubaru memasang seringai, dan Kagami memulai lagi, “Apa alasanmu mengirim bunga kamboja?”
“Aku tahu,” Tsubaru berkata dengan mata cemerlang dan cengirannya yang Kagami rindukan, “Kagami yang dulu sudah tidak ada lagi—dan kurasa aku tahu sebabnya, pasti karena Raiza. Kansahamnida, Raiza-san. Dan kalian serasi, pasti langgeng. Ia sedikit terlalu cantik untukmu sih.”
“APA MAKSUD—UHUK!”
“Hei, Kagami kun, jangan memaksakan diri dong!”
Tsubaru tersenyum.
Tampaknya memang, Kagami yang dulu itu sudah ‘menghilang’ dari dunia ini.
***
Terima kasih karena sudah repot-repot membaca fic abal ini, yang diselesaikan dalam satu jam setengah, sangat abal, sangat ooc, sangat melankonlis. Raiza Sakata adalah properti milik Dhilla, dan Ryokubita adalah milik nDhez dan kawan-kawan. First RPF based fanfic, by the way. :D
Label: fanfic, kagami/raiza, rpf:ryokubita