"Have you heard this story?"
Write your wish on a paper and place it in a small glass bottle,
"What are you always so diligently wishing for every day?"
Title: let me regret.
Version: 2.06
Since: 20/09/2009
your wish will come true.
Title: let me regret.
Version: 2.06
Since: 20/09/2009
your wish will come true.
Kau yang mengajarkanku tersenyum...bukan begitu?
When I was standing at the end of the world and couldn't see the path;
Kedua iris matanya memandang langit, semburat oranye matahari terbenam yang indah menghiasi. Di depannya laut mulai pasang—karena memang sudah waktunya—tapi ia tetap duduk di atas pasir putih sambil memainkan kerang yang ditemukan adiknya saat berenang tadi. Sekarang, adiknya, serta kakaknya tampaknya sedang membeli minum, atau pergi keatas untuk mandi; yah, tipikal wanita, tidak bisa kotor barang sedikit saja. Sosok pemuda itu menghela nafasnya, mungkin sedikit kesal karena kakaknya tidak memberi tahu alasan kenapa ia diharuskan berada disini, padahal pamannya sudah menjanjikannya trip di Kepulauan Jeju di Korea Selatan. Yah, sayang sekali. Padahal, dengar-dengar, gadisnya berada di sana juga. Walaupun cuma desas-desus, bukankah tak ada masalah untuk memercayainya?
“Kagami-kun.” Suara yang familiar tertangkap gendang telinganya, membuatnya spontan berbalik dan menghadapi siapa yang ada disana. Diam-diam dia berharap yang berkata adalah gadis itu, namun tampaknya hanya akan menjadi mimpi kosong yang takkan pernah terkabulkan. Sebagai gantinya ia melihat sosok yang sering kisruh dengannya, kakaknya sendiri—Hiiragi Saito. Memandangnya dengan tatapan tajam, bajunya yang tadinya terbalut baju renang kini sudah berganti dengan T-shirt, jins selutut serta coat warna pastel. “Aku ingin memberitahukanmu...rahasia.”
Kagami mengangkat satu alisnya, memandang Hiiragi dengan tatapan ‘aku-tidak-mengerti-apa-yang-kaubicarakan’. Bocah itu bangkit dan membuat tangannya membuat gerakan menyingkirkan pasir dari belakang celana jeansnya. “Kenapa?” ia memecah keheningan dengan suara bassnya, mata melekat pada sosok tubuh yang lebih pendek darinya itu.
“Tsubaru masih hidup, dan kini ia koma di rumah sakit.”
Berita itu harusnya menjadi berita bahagia—seandainya kata-kata setelah kata ‘hidup’ tidak pernah ada.
I needed someone.
When I was trapped in the darkness and couldn’t see light;
Dari dahulu kala, Kagami membenci apa yang disebut ‘rumah sakit’. Ruangannya yang putih menusuk, bau kematian yang tersebar di udara. Ia membenci saat ia harus melihat kasur berisi tubuh Ibunya yang sudah tidak bernyawa, dan ketika ia ‘menjenguk’ sang Ayah di kamar mayat. Mungkin itu bisa disebut traumatik, namun sebenarnya ia tidak takut rumah sakit, ia hanya membencinya. Membenci segala ketenangan yang ada, sorot mata khawatir di orang-orang di depannya.
Namun, ia juga membenci ekspresi lega saat para staf rumah sakit memberitahukan bahwa kerabat mereka selamat. Ia juga membenci ekspresi orang yang menangis dan yang menahan tangis ketika kabar buruk-lah yang diberitahukan oleh seorang dokter dingin yang memberitahukan kabar itu dengan datar. Ia memandang hampa lantai putih rumah sakit, Hiiragi menemani Asami lagi, menghilang entah kemana—mungkin ke arah Kantin karena mereka belum menikmati sarapan pagi.
“Maaf, anda kerabat Kohaku Ren?”
Ia mendongak. Kohaku Ren, amber love; itukah nama yang ia pasang sebagai ganti eksistensi seorang Tsubaru Saito? Tanpa terasa ia menarik sudut bibirnya dan tersenyum, hanya sedetik cepatnya dan mengangguk sedikit. Sang dokter menghela nafas, wajahnya memandang datar Kagami. Sedangkan bocah itu hanya bisa menunggu—seakan menunggu vonis pengadilan, tanpa terasa setetes keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Akankah berita baik yang ia dengar?
Atau ia harus melihat orang yang ia sayangi meninggalkannya lagi?
“Maaf...”
...mendengar kata itu, tampaknya ia sudah mengetahui jawabannya. Tuhan, kenapa kau mengambil orang yang ia sayangi—kembali?
I was waiting for the helping hand.
You wouldn’t know you’re the only one in the world.
Katakanlah, (lagi-lagi) masalah.
“...because I will not always get what I want, especially you. Sounds silly because I want you.” Kenapa? Kenapa gadis itu tak bisa mendapatkannya? Apakah ia tidak terlalu pantas untuk gadis berambut cokelat kemerahan tersebut? Apa ia ternoda dengan titel nama ‘Saito’ yang mengingatkan orang dengan Yasushige Saito, kakek-kakek gila yang melempar vas bunga kepada orang yang mencuri buah kesemek di pohonnya? Ataukah karena Ibu yang hamil dengan seorang pejabat di Russia dan setelah melahirkan ‘Itsuki Naruki’, kabur—tanpa cerai—bersama Ayahnya yang malah ditembak sniper yang disewa oleh pria Russia itu? Sejarah keluarganya memang memusingkan—
“We’re break up, that’s what you mean?” suara bassnya berubah menjadi serak, tapi ia menyembunyikan perasaan ingin menangisnya—bukankah itu membuatnya semakin buruk, semakin tidak pantas bersanding dengan gadisnya, walau langit dan bumi dengan ajaibnya terbalik? Suaranya bergetar dan serak, itu tidak bisa disembunyikannya. Namun ia harus berpura-pura kuat, menahan air mata yang sudah akan menitik di kedua iris cokelatnya; dan tidak pernah ada yang tahu bahwa...
...ia rapuh.
“I really don’t want this happen between us.” Kedua mata gadisnya basah, berlinang air mata—namun tampaknya ia tidak mampu, ia sudah terluka. Tak mampu menahan mulutnya agar tidak membuat gadisnya lebih terluka daripada itu.
Berbalik, “I don’t want it too.” Dan meninggalkan gadisnya, begitu saja. Bijaksana?
When you found out that I run away,
were you disappointed?
I had courage to come back because you were there.
Ia tidak bijaksana, ia tahu itu.
Mengelus pipi kirinya yang merah, yang baru saja menjadi sasaran tampar dari sepupunya yang sepantaran dengannya, Kanon Wakana yang kemudian langsung pergi—ditarik oleh Hiiragi ke taman kota sementara Kagami berada sendirian di rumah. Terseok-seok menuju kamar, ia melihat telepon genggamnya tergeletak di atas televisi yang tidak hidup. Melihat pesan yang masuk di sana, matanya melebar. Akh. Haruskah ia kehilangan orang lagi? Bukankah sudah cukup ia ditinggalkan. Tidak cukupkah Tuhan mengambil Tsubaru—tidak cukupkah Tuhan merampas Raiza dari sisinya; atau ia yang membiarkan Kami menggariskan takdir bahwa Raiza yang menghilang dari sisinya, walau ia mampu mengubahnya?
Mengedip—dan dia segera berlari ke halte bus di tempat terdekat, dengan buru-buru, meninggalkan sesuatu yang tak biasanya ia tinggalkan dalam hidupnya.
Segenggam lolipop tergeletak di meja, tertinggal.
You’ll make me fly and smile again, right?
Oh lonely night, it’s and endless and stuffy night;
Mendengar orang yang sedarah dengan gadisnya—kembarannya tepatnya—meninggal dunia, ia hanya bisa berfikir, bahwa bukan ia saja yang sedang tertimpa musibah belakangan ini. Harusnya ia perduli, ‘kan? Masih banyak orang yang bernasib lebih buruk daripadanya, namun kenapa dia selalu bersikap egois layaknya ia satu-satunya yang bernasib sial di dunia ini? Seperti yang ia katakan dari awalnya—ia memang berego tinggi, egois.
Harusnya ia berada di samping gadisnya, mendekapnya erat sementara gadis itu menangis di pundaknya. Tidak semua orang mempunyai kesabaran dan ketabahan darinya yang hanya terdiam melihat mayat Tsubaru di kremasi, terbakar di api merah lalu keesokan harinya, ia berdebat dengan gadisnya, Raiza Sakata, yang akhirnya malah berujung pertengkaran. Lalu sekarang—Reiji meninggal bukan? Rasanya banyak sekali orang yang meninggal di bulan ini, ia membatin.
Tapi bukan melakukan apa yang dicantumkan pada kalimat pertama paragraf diatas, ia malah duduk di atas kasurnya, termenung dengan mata yang sembab; lagi-lagi mengingat Raicchan—Raiza— membuatnya menangis kembali. Sungguh diluar imejnya yang tegar. Tapi ia tersenyum sarkatis pada dirinya sendiri, sementara ia menyeka air mata yang berjatuhan. Bukankah ia harus tegar? Bukankah ia harus mendongakkan wajah dan menatap dunia dengan berani?
Ia. Tidak. Bisa.
Those are day when I cried alone during the dark nights.
The person who always guiding me is you—
Pada malam kemarin ia merenung, dan pada pagi ini dia membulatkan tekad. Mencari sosok yang bukan miliknya lagi, yang pastinya sedang berfikiran kosong, atau ingin membunuh dirinya sendiri untuk bertemu dengan niichannya yang tersayang lagi. Ia berlari ke sana kemari mencari tuan putrinya, ia bersandang ke ‘kastil’ gadisnya, si tuan putri yang berambut cokelat kemerahan. Iris matanya menangkap kertas yang tergeletak di atas meja, dan ketika memegangnya dengan gemetar, ia membacanya.
Kertas itu jatuh ke lantai sementara Kagami Saito berlari ke jembatan Tamagawa—satu-satunya tempat yang bisa menyebabkan kematian bagi orang yang melompat ke bawahnya.
...you, you, you—
Pupilnya melebar ketika ia melihat sosok itu, gadisnya, Raizanya, Raizanya yang tersayang, yang walau sudah meninggalkan luka yang dalam di hatinya tetap menjadi satu-satunya gadis yang ia minta berada di sisinya. Jantungnya berdetak kencang, melihat sosok yang sudah memanjat pilar jembatan itu, sementara paru-parunya sudah sesak karena ia terlalu lama berlari. Ia memang tidak bisa berolahraga, ia tahu. Ia jarang lari, bahkan ketika guru olahraganya menugaskannya untuk melakukannya. Ia malas; ia tidak punya keinginan dan niat. Salahkah?
...tapi demi miliknya, ia ingin berlari.
“RAICCHAN!”
Mencoba berteriak sekencang-kencangnya; akankah kekhawatirannya tersampaikan dengan satu panggilan itu? Sudah jarang ia memanggilnya dengan panggilan itu, karena banyak masalah ia jadi memanggilnya dengan embel-embel ‘-san’, seperti saat mereka pertama bertemu. Larinya semakin cepat, mencoba mencegah sosok itu dari jatuhnya. Tidak, tidak—Raizanya tidak boleh menyusul Reiji, karena ia masih ingin miliknya satu-satunya ada di dunia ini. Itu memang egois, itu memang egois. Walau ia sudah digariskan untuk bersama-samanya, ia tetap ingin berada disininya. Ia hampir mendapatkan Raizanya—
—seperti sekarang, ia hampir berhasil mencegah sosok itu jatuh.
Tapi terlambat.
The only reason of living is you.
Tapi kenapa Kami ikut mengambilmu dari sisiku, kenapa? Kata-kata itu bergema dikepalanya, terngiang begitu saja. Ia merutuk langit yang menampiaskan air matanya yang kini berjatuhan, membasahi badannya dan membuat kemeja putih tipisnya basah. Tanpa ekspresi, ia memandang pilar jembatan yang sebenarnya dihalangi oleh garis kuning berlabel police line – do not cross yang harusnya ia patuhi. Tapi ia tidak menggubrisnya, membiarkan air matanya bersatu dengan hujan.
Membiarkan dirinya melompat, menyusul putrinya yang sudah berada disana. Akankah ia menemuinya? Angin berdesir menemani kejatuhannya, menimbulkan suara yang memenuhi telinganya. Kami, pertemukan ia dengan orang yang ia sayangi—termasuk alasannya untuk mati, alasannya untuk hidup. Itulah Raiza, alasannya untuk eksis di dunia ini.
Within my desert you are my oasis—
...tubuhnya jatuh, jatuh, jatuh...
—the sweetest chocolate.
“Saranghaeyo, Raiza Sakata.”
You’ll make me fly and smile again, right?
A / N: Finally, another story! *sigh* LOL. Saya dedikasikan kepada Bunda Dhilla dan Kakak Tyas –halah- yang selalu memberikan ‘suport’ berupa rekomendasi vid-vid B2ST yang membuat saya semangat XDD
Disclaimer: Lyrics and Title © Beast; Alur Cerita © Dhilla, dan Percakapan Raiza-Kagami © (RC?) plurk geje yang waktu itu. Saitos dan Wakana milik saya, dan Sakatas milik Dhilla. Nuff’ say. *shot*
Label: b2st, fanfic, kagami/raiza, oneshot, rpf:ryokubita, yet